Self Assesment Pada Sistem Perpajakan di Indonesia
18 Desember 2023
Sistem self assessment merupakan sistem pemungutan pajak yang memberikan kepercayaan dan tanggung jawab kepada wajib pajak untuk secara mandiri mendaftarkan diri mereka dan memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), serta mengurus semua urusan perpajakan mereka sendiri.
Pengertian Self Assessment
Menurut definisinya, dalam sistem ini, wajib pajak akan mengambil inisiatif untuk menghitung dan mengumpulkan pajak mereka sendiri. Dalam hal ini, DJP menganggap wajib pajak mampu menghitung pajak, memiliki integritas yang tinggi, menyadari pentingnya membayar pajak, dan memahami undang-undang perpajakan yang berlaku.
Kelebihan dan Kekurangan Self Assessment
Dalam implementasinya, sistem self assessment memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari sistem ini adalah pemungutan pajak akan menjadi lebih efektif karena wajib pajak melakukan perhitungan pajak secara mandiri. Dampak positif dari self assessment ini adalah dapat mendorong wajib pajak untuk lebih percaya pada mekanisme perpajakan di Indonesia, sehingga kewajiban perpajakan dapat terpenuhi dengan baik oleh wajib pajak dan dapat mereka pertanggungjawabkan dalam laporan SPT.
Namun, di balik kelebihannya, tentu ada kekurangannya. Bagi wajib pajak yang tidak memiliki pengetahuan tentang perpajakan, mereka akan kesulitan dalam melakukan prosedur perhitungan, pembayaran, dan pelaporan pajak. Wajib pajak mungkin akan mengalami kesulitan dan bisa saja salah dalam menghitung jumlah pajak yang harus mereka bayar. Dampak negatif dari self assessment ini adalah dapat menyebabkan tunggakan pajak. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah ini adalah terlaksananya pemeriksaan dan penagihan pajak.
Lihat Juga : Jasa Pendampingan Pemeriksaan Pajak
Kami Menawarkan Layanan Pajak Yang Unggul.
Segera Hubungi Kami!
Dasar Hukum
Pemberlakuan self assesment menjadi karakteristik dan keunikan dari sistem pengumpulan pajak di Indonesia. Dasar hukum untuk hal ini adalah UU KUP No. 6 Tahun 1983, yang telah berganti oleh Undang-Undang No. 16 Tahun 2009.
Selain itu, sistem pembayaran pajak ini juga ada dalam Pasal 12 ayat (1) UU KUP. Pasal tersebut menjelaskan bahwa sistem ini lebih menekankan peran aktif wajib pajak dalam pengumpulan pajaknya. Sementara itu, peran pemerintah atau institusi yang mengumpulkan pajak hanya sebagai pengawas dan penegak hukum. Namun, DJP masih memiliki kewenangan untuk mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dalam kasus-kasus tertentu. Misalnya, ketika berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, wajib pajak tidak memenuhi kewajiban formal dan/atau kewajiban materiil.
Hal ini juga diatur dalam Pasal 13 ayat (1) UU KUP, di mana dalam waktu 5 tahun setelah pajak terutang atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak, DJP dapat mengeluarkan SKPKB karena alasan-alasan berikut ini:
- Jika berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain bahwa pajak yang terutang tidak atau kurang bayar.
- Bila penyampaian SPT tidak sesuai dengan tenggat waktu berdasarkan UU KUP (Pasal 3 ayat (3) UU KUP) dan mendapat teguran secara tertulis tidak menyampaikan tepat waktu sebagaimana tertulis pada Surat Teguran.
- Jika berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lainnya mengenai PPN dan PPnBM ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisi lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai tarif 0%.
- Jika kewajiban pembukuan dan pencatatan (Pasal 28 atau Pasal 29 UU KUP) tidak dipenuhi sehingga tidak sempat diketahui besarnya pajak terutangnya.
- Jika kepada wajib pajak diterbitkan NPWP dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) secara jabatan (Pasal 2 ayat (4a) UU KUP).
Lihat Juga : Mengenal PPN dan PPh
Mengapa Indonesia Menerapkan Self Assessment System?
Pajak merupakan sumber pendapatan yang sangat penting bagi negara dalam mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat serta untuk menjalankan pemerintahan dan pembangunan negara. Oleh karena itu, negara memerlukan sistem pemungutan pajak yang efektif agar wajib pajak dapat memenuhi kewajiban mereka dengan baik. Tujuannya adalah agar proses pemenuhan kewajiban pajak berjalan dengan mudah, benar, dan transparan. Selain itu, sistem ini juga bertujuan untuk menjaga agar semua langkah dan proses pemungutan pajak berjalan dengan teratur dan terorganisir.
Di Indonesia, sistem pemungutan pajak telah mengalami beberapa kali perubahan. Hal ini untuk menyesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat pada saat itu. Pada awalnya, Indonesia menerapkan sistem pemungutan pajak official assessment, di mana fiskus atau petugas administrasi pajak memiliki wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang harus wajib pajak bayarkan. Namun, sistem ini berubah pada tahun 1983 ketika Indonesia mengadopsi sistem self assessment yang masih berlaku hingga sekarang.
Pergantian sistem ini terjadi karena pemerintah ingin memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk menentukan besarnya pajak yang harus mereka bayar. Dengan adanya sistem self assessment, negara berharap wajib pajak dapat melaksanakan kewajiban mereka kepada negara dengan lebih mudah tanpa merasa terbebani. Meskipun demikian, sistem ini tetap menimbulkan keterpaksaan bagi wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan secara sukarela. Contoh dari sistem self assessment ini adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh).